Di masa lalu Kotawaringin (yang saat ini menjadi Kotawaringin Lama) merupakan bagian dari Kesultanan Banjar. Di masa tersebut Kotawaringin bukan wilayah tanpa penghuni. Karena di masa tersebut Kotawaringin dihidupi oleh Orang Dayak. Kedatangan kesultanan tersebut bertujuan untuk perluasan wilayah dan sekaligus untuk menyebarkan agama islam. Yang selanjutnya kesultanan mengutus Kyai Gede untuk menyebarkan agama islam di Kotawaringin.
Orang-orang yang menolak untuk memeluk agama islam selanjutnya berpindah ke wilayah ‘pedaratan’―beberapa tuturan menyebut sempat terjadi peperangan dan perjanjian. Pedaratan yang dimaksud yakni terdiri dari beberapa wilayah seperti; Riam Durian, Dawak, Kinjil, Sukaraja, Sakabulin, Tempayung, Babual, Baboti, Karta Mulia.
Secara geografis, Kotawaringin terletak berdekatan dengan Sungai Lamandau sedangkan wilayah ‘pedaratan’ berada jauh dari salah satu sungai besar di Kalimantan tersebut. Sepertinya hal tersebut yang membuat mereka mengidentifikasi diri sebagai Orang Darat untuk membedakan dirinya dan kebudayaan di sekitar Kotawaringin yang mayoritas, pada masa tersebut, telah memeluk agama islam.
Namun perpindahan tersebut tidak serta merta menghilangkan hubungan antara Orang Darat dan Orang Kotawaringin. Pihak Orang Teringin (Kotawaringin) menghormati Orang Darat dengan menyebut mereka sebagai “Orang Mamak” ―dalam bahasa lokal berasal dari kata mamarina yang berarti paman atau bibi. Demikian pula Orang Darat menyebut Orang Teringin dengan Orang Nyaga ―menurut beberapa tuturan berasal dari kata niaga atau dagang. Bentuk penghormatan lainnya adalah di masa lalu adalah setiap kali Kotawaringin mengadakan upacara membersihkan benua akan mengundang Orang Darat untuk memimpin ritual tersebut (dilakukan oleh ahli waris dari Domung adat di beberapa lokasi) ―belakangan upacara ini sudah tidak lagi dilaksanakan.
Selain pedaratan, Orang Darat juga mengenal wilayah adat mereka sebagai Sekayu Darat. Sekayu Darat sendiri berarti satu kayu (satu pohon) atau dipahami bersama bahwa mereka (Orang Darat) berasal dari satu akar yang sama.
Wilayah Adat Sekayu Darat pada masa lalu dipimpin oleh 3 Domung: yakni Mas Domung bertanggung jawab untuk wilayah Sakabulin. Ia juga membawahi beberapa wilayah lainnya seperti Riam Durian, Kinjil, Dawak dan Sukaraja. Di masing-masing wilayah Mas Domung memiliki wakilnya; Domung Cingka (mendiang tuha) memimpin wilayah Tempayung, Babual, dan Baboti; sedangkan Domung Bayan memimpin Karta Mulia.
Menurut tuturan Orang Darat, Domung Cingka yang membuat pemukiman yang ada saat ini (RT 01 Desa Tempayung). Untuk melakukan hal itu ia membuka rimba dengan menukarkan sebidang piyang kepada ‘penghuni’ (makhluk gaib) yang berada di rimba tersebut.
Dari sejarah tutur tersebut, Orang Darat Tempayung juga menyebut salah satu sungai di sekitar RT 01 dengan sebutan tepian tuha atau tepian sungai Tempayung tua. Lokasi sungai tersebut dipercaya tidak jauh terletak dari tempat Domung Cingka melakukan ritual di atas. Saat ini Orang Darat Tempayung menyebut lokasi itu sebagai peniatan.
Di wilayah yang baru, Orang Darat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan behuma (berladang). Mereka membuka rimba dan mengerjakannya untuk behuma. Praktik seperti ini terjadi di seluruh tanah pedaratan.
Sungai Lamandau
Mesjid Jami Kyai Gede
Makam Kuta Tanah
Makam Kyai Gede
✨ Kunjungi Kotawaringin Lama — rasakan kehangatan masyarakatnya, nikmati warisan budayanya, dan saksikan langsung bagaimana sejarah hidup berdampingan dengan kehidupan masa kini.